Sebuah harian nasional terbitan selasa 16 Oktober 2007 memuat delapan tokoh nasional yang kemungkinan besar akan maju pada pemilihan umum presiden 2009 mendatang. Kedelapan tokoh tersebut menurut poling harian bersangkutan yang dilansir dari hasil survei lembaga survei Indonesia september-oktober 2007 dengan metode pertanyaan perbuka (top of mind) masih jauh dari harapan publik. Dari hasil jajak pendapat yang dilansir, perolehan suara responden yang tertinggi hanyalah 29% untuk tokoh yang masih dianggap mampu memimpin, sementara yang lain, responden hanya memilih 9%, 4%, 3% bahkan ada yang hanya 0,5%. Suara dan keraguan pun serta merta bagai gaung bersambut, dari kedelapan tokoh yang dimuat diharian tersebut sepertinya opini publik tidaklah terlalu antusias dan berharap banyak akan terjadi perubahan baru dalam pemerintahan jika salah satu dari kedelapan tokoh tersebut terpilih.
Suara perubahan yang diharapkan mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik sepertinya masih menjadi harapan saja, tanpa sebuah keyakinan menuju kepastian. Persoalan sebetulnya bukan karena bangsa ini tidak bisa diubah, melainkan karena para tokoh tersebut adalah muka-muka lama yang beberapa diantaranya pernah memimpin negeri ini dan belum terbukti ampuh melakukan perubahan yang signifikan. Kemudian kalau dilihat dari segi umur, juga tampak mereka adalah orang-orang lama yang masih memegang tradisi sulit melakukan perubahan radikal karena kultur lama yang masih kuat, sementara disisi lain, peluang untuk para pemimpin yang lebih muda sepertinya tidak diberi kesempatan untuk muncul. Inilah persoalan yang sebetulnya cukup konyol, ketika deru perubahan itu didengungkan dari berbagai sisi kehidupan, tokoh yang diharapkan menjadi mentor perubahan diposisi atas tersebut sulit melakukannya. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah persoalan yang dihadapi dinegeri ini terlampau banyak? Apakah karena persoalan yang begitu banyak para pemimpin pusing dan tidak punya power untuk mengurusnya? Sebetulnya disetiap elemen pemerintahan sudah tersedia sumber daya manusia yang berkompeten untuk mengurus masing-masing departemen. Yang menjadi persoalan adalah, apakah antara pemimpin puncak dengan bawahannya satu visi untuk benar-benar memperbaiki negeri ini dari carut marut keterpurukan? Apakah mereka mampu menyingkirkan kepentingan politik dan lebih mengutamakan kepentingan negara yang dalam hal ini memerlukan tokoh pengubah?
Saya jadi teringat pesan sebuah iklan ditelevisi yang mengatakan “Yang muda yang nggak dipercaya”. Maksudnya apa sih? Itulah permasalahan dinegara ini, manusia baru, yang dengan semangat baru dan mengetahui pentingnya perubahan serta memiliki kapasitas untuk mengubah, selalu tidak diberi kesempatan. Bahkan sebisanya orang-orang muda jangan dikasi peluang karena bisa memusingkan kepala status quo dan menjadi kompetitor baru, sehingga persoalan persaingan politik menjadi lebih berat. Kalau begitu, Bisakah Mengubah Indonesia?
Suara perubahan yang diharapkan mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik sepertinya masih menjadi harapan saja, tanpa sebuah keyakinan menuju kepastian. Persoalan sebetulnya bukan karena bangsa ini tidak bisa diubah, melainkan karena para tokoh tersebut adalah muka-muka lama yang beberapa diantaranya pernah memimpin negeri ini dan belum terbukti ampuh melakukan perubahan yang signifikan. Kemudian kalau dilihat dari segi umur, juga tampak mereka adalah orang-orang lama yang masih memegang tradisi sulit melakukan perubahan radikal karena kultur lama yang masih kuat, sementara disisi lain, peluang untuk para pemimpin yang lebih muda sepertinya tidak diberi kesempatan untuk muncul. Inilah persoalan yang sebetulnya cukup konyol, ketika deru perubahan itu didengungkan dari berbagai sisi kehidupan, tokoh yang diharapkan menjadi mentor perubahan diposisi atas tersebut sulit melakukannya. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah persoalan yang dihadapi dinegeri ini terlampau banyak? Apakah karena persoalan yang begitu banyak para pemimpin pusing dan tidak punya power untuk mengurusnya? Sebetulnya disetiap elemen pemerintahan sudah tersedia sumber daya manusia yang berkompeten untuk mengurus masing-masing departemen. Yang menjadi persoalan adalah, apakah antara pemimpin puncak dengan bawahannya satu visi untuk benar-benar memperbaiki negeri ini dari carut marut keterpurukan? Apakah mereka mampu menyingkirkan kepentingan politik dan lebih mengutamakan kepentingan negara yang dalam hal ini memerlukan tokoh pengubah?
Saya jadi teringat pesan sebuah iklan ditelevisi yang mengatakan “Yang muda yang nggak dipercaya”. Maksudnya apa sih? Itulah permasalahan dinegara ini, manusia baru, yang dengan semangat baru dan mengetahui pentingnya perubahan serta memiliki kapasitas untuk mengubah, selalu tidak diberi kesempatan. Bahkan sebisanya orang-orang muda jangan dikasi peluang karena bisa memusingkan kepala status quo dan menjadi kompetitor baru, sehingga persoalan persaingan politik menjadi lebih berat. Kalau begitu, Bisakah Mengubah Indonesia?
2 comments:
Hebat bung...
Sudah saatnya kita yang muda-muda ini rajin belajar dan mulai mengambil peran yang dahsyat dalam pembangunan negeri tercinta kita ini.
Salam sukses.
Hebat bung...
Sudah saatnya kita yang muda-muda ini rajin belajar dan mulai mengambil peran yang dahsyat dalam pembangunan negeri tercinta kita ini.
Salam sukses.
Post a Comment